Membenarkan orang lain (?)

Baru-baru ini sedang viral kisah seorang ustadz yang dinilai salah dalam pemilihan kata ketika berdakwah. Karena hal tersebut, banyak pihak yang menyayangkan dan juga mungkin merasa kecewa.

Kolom komentar di beberapa postingan tentang ustadz tersebut ramai oleh netizen. Ada yang menegur dengan halus, ada juga yang hanya mempertanyakan, ada yang membela, dan banyak sekali yang mencaci maki.

Beberapa waktu lalu juga saya baca igstory salah seorang akun yang saya follow. Beliau menjadikan Gubernur Jakarta sebagai bahan lelucon dan ledekan karena akun twitter Bapak Gubernur salah menyebutkan jumlah panjang jalan di Jakarta.

Awalnya ini saya abaikan. Tapi kemudian menjadi terpikir, bahwa cacian, ledekkan, makian, ejekkan, adalah hal yang sangat mudah dilakukan di era ini. Hal ini terbukti dengan hanya melihat kolom komentar postingan-postingan banyak orang tentang hal apapun.

Kembali lagi ke case Ustadz dan Pak Gubernur. Saya sendiri kagum dengan beliau berdua. Sang ustadz menjadikan dirinya bermanfaat untuk Ummat terutama para pemuda, dan sang Gubernur menjadikan dirinya bermanfaat untuk negara terutama Jakarta.

Lalu dengan hanya kesalahan sedikit, satu kalimat atau bahkan satu kata, kebermanfaatan yang sudah dilakukan mereka hilang sudah. Kini banyak suara sumbang menggema di linimasa mereka. Mempertanyakan keislamannya, mempertanyakan kenegaraannya.

Saya heran, segampang itukah cacian dan hinaan keluar dari mulut dan jari mereka para penebar suara sumbang? Sudah berbuat apakah untuk Ummat dan negara sehingga begitu lantangnya mereka mencaci.

Hal ini menjadi instrospeksi tersendiri buat saya.

Saya, menegur keluarga dan saudara yang masih melalaikan sholat saja belum mampu, rasanya tidak pantas mengeluarkan hinaan untuk ustadz yang melaluinya banyak orang terketuk hatinya untuk berhijrah kejalan Allah. Juga, saya masih belum bisa berbuat apa-apa untuk negara dan lingkungan, rasanya tidak pantas menjadikan Pak Gubernur sebagai bahan ejekkan yang melalui karyanya banyak memberikan manfaat besar untuk Indonesia terlebih di ranah pendidikan. Saya siapa? Kalian siapa? Sudah berbuat apa?

Walaupun mereka melakukan kesalahan, tegurlah dengan cara yang baik, tanpa hinaan dan ejekkan. Karena hinaan dan ejekkan yang keluar dari jari atau mulut kita hanya menandakan bahwa kita serendah hinaan dan ejekkan tersebut.

Bagi muslim harusnya ini sudah jelas menjadi pedoman hidup, bahwa jika kita tidak bisa berbicara yang baik maka diam adalah yang terbaik. Dalam hal menegur pun sudah diajarkan di Islam mengenai adab dan cara menegur yang baik.

Semoga tulisan ini bermanfaat, dan menjadi saksi ada di mana saya berada ketika asatidz, ulama, dan orang bermanfaat dihina.